Selasa, 24 Maret 2020

BROSUR PERKAWINAN BKI A SEMESTER VI



MAKALAH
 BK PERKAWINAN
MAKNA PERNIKAHAN/PERKAWINAN DALAM AGAMA-AGAMA DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Barriyati, S.Pd., M.Pd


Nora Maulini            (11732027)
Ririn Marlina           (11732014)
Seri Rizky                 (11732005)
Yudhi Priambudhi  (11732041)

BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI( IAIN ) PONTIANAK 2020/2021


KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, dengan segala nikmat yang tak henti-hentinya yakni nikmat sehat sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang membahas  materi tentang  Perkawinan/Pernikahan dalam Agama-agama di Indonesia. Makalah ini telah kami susun dengan kerja sama antar tim demi memenuhi mata kuliah BK Perkawinan.
            Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat, tata bahasanya maupun kelengkapan materinya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka dan hati yang lapang kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca baik itu dosen pengampu mata kuliah maupun audience, agar kami dapat memperbaiki makalah ini sehingga menjadi makalah yang layak untuk dibaca dan dijadikan sebagai referensi.

            Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Perkawinan/Pernikahan dalam Agama-agama di Indonesia ini  dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.


Penulis
  
 Rabu, 18 Maret 2020



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. 2
DAFTAR ISI ………………………………………………………...……………. 3
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………            4
A.    Latar Belakang …………………………………………………………….  4
B.     RumusanMasalah ………………………………………………………….  4
C.     TujuanPenulisan …………………………………………………………..   4
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………….………….           5
A.    Definisi Perkawinan/Pernikahan…………………………………………..   5
B.     Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Islam dan Konghucu……….……    5
C.     Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Hindu dan Buddha..……………….            7
D.    Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Kristen Protestan dan Katoli……     10
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………..            14
A.    Kesimpulan ………………………………………………………………..  14
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 15








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan adalah kebutuhan individual maupun sosial. Kebanyakan manusia, pada waktunya akan menjadi suami/istri dan membentuk keluarga, yang merupakan batu pertama dalam bangunan sebuah masyarakat. Dalam islam sendiri, pernikahan dijelaskan secara detail mulai dari awal meminang sampai membangun bahtera rumah tangga. Zahirnya, pernikahan memang hanya merupakan langkah untuk menghalalkan persetubuhan. Tapi, pada hakekatnya, ia merupakan pondasi bagi pelbagai hak maupun kewajiban yang harus ditunaikan dan diperhatikan secara sungguh-sungguh, agar bahtera rumah tangga dapat berlabuh di dermaga kesejahteraan dan ketentraman.
Sebagai negara yang memiliki toleransi yang tinggi, yakni Indonesia, Pernikahan tidak hanya dibahas secara detail dalam  Agama Islam, tetapi dalam agama lain seperti: Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik juga membahas perkawinan mulai dari makna pernikahan, hukum pernikahan, hingga syarat-syaratnya. Sehingga makna pernikahan itu sendiri beraneka ragam dan dapat menunjukkan bahwa pernikahan merupakan salah satu criteria kebahagian yang terpenting bagi siapapu.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa itu Perkawinan/Pernikahan?
2.      Seperti apa Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Islam dan Konghucu?
3.      Seperti apa Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Hindu dan Buddha?
4.      Seperti apa Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Kristen Protestan dan Katolik?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui penjelasan tentang Perkawinan/Pernikahan.
2.      Untuk mengetahui Seperti apa Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Islam, Konghucu, Hindu, Buddha, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Perkawinan/Pernikahan
Nikah menurut arti bahasa adalah berkumpul dan saling memuaskan, kadang-kadang diartikan dengan bersetubuh atau perjanjian perikatan[1].  Secara terminologi perkawinan menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Mamud Yunus perkawinan merupakan akad antara calon laki-laki dengan calon perempuan untuk memenuhi hajat jenisnya sesuai yang diatur oleh syari’ah.
Sedangkan menurut Azhar Basyir perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup bekeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.
  menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan  membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Maha Esa. Sedangkan perkawinan menurut syara’ adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki bebas bergaul dengan perempuan tertentu pada waktu akad menggunakan lafadz Allah tazwij atau terjemahanya.
Berdasarkan penuturan di atas maka dapat disimpulkan bahwa        Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agamanorma hukum, dan norma sosial
B.     Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Islam dan Konghucu
1.      Pernikahan dalam Islam
Pernikahan atau Munahakat artinya dalam bahasa adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti akad nikah (Ijab Qobul) yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya yang diucapkan oleh kata-kata , sesusai peraturan yang  diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahanAllah s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
2.      Hukum pernikahan dalam Islam
Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak. Hukum menikah akan berubah menjadi sunnah apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan mampu menahan perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah. Sebagaimana sabda Rasullullah SAW :
“Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim).
 Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan ia khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan berbuat zina. Maka wajib baginya untuk segera menikah.
 Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun meteriil dalam menafkahi keluarganya kelak. Perkawinan akan menjadi haram hukumnya apabila dilakukan oleh seseorang yang bertujuan tidak baik dalam perkawinannya, misalnya menyakiti hati seseorang.
3.      Syarat Pernikahan dalam Islam
1.      Calon sudah baligh dan berakal
2.      Wanita yang halal untuk dinikahi
3.      Sigat (lafal) ijab qabul
4.      Wali nikah
5.      Saksi
6.      Mahar (mas kawin)[2]

1.      Pernikahan dalam Agama Konghucu
Pernikahan menurut agama Konghucu adalah “salah satu tugas suci manusia yang memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih firman Thian, Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud kebajikan, yang bersemayam di dalam dirinya serta, selanjutnya memungkinkan manusia membimbing putra dan putrinya.
2.      Hukum Perkawinan dalam Agama Konghucu
Dengan ditetapkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka telah dikeluarkan hukum perkawinan agama Konghucu di Indonesia pada Tahun 1975. Menurut agama Konghucu, bila seseorang hendak melakukan perkawinan, maka ia diharukan terlebih dahulu diharuskan untuk mengetahui hukum perkawinannya.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh kedua calom mempelai. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Dasar perkawianan umat Konghuchu adalah monogamy demi tercapainya tujuan perkawinan yang suci murni.
3.      Perkawinan harus berdasarkan kemauan/persetujuan kedua calon mempelai, tanpa adanya pakasaan dari pihak manapun.
4.      Kedua calon mempelai masing-masing belum/tidak terikat dengan pihak lain yang dianggap sebagai hidup berumah tangga.
5.      Pengakuan iman wajib bagi calon mempelai sehingga benar-benar dewasa bukan saja dari segi usia tetapi juga dalam berfikir, bertindak, bertingkah laku, dan lain sebagainya.
6.      Pada waktu acara peneguhan perkawinan harus dihadiri oleh kedua belah pihak orang tua / wali mempelai demi kerukunan, kedamaian, kemajuan dan kebahagiaan kedua empelai sepanjang hidupnya, maka yang menyulut lilin pada altar persembahyangan adalah kedua belah pihak orang tua/ wali mempelai sebagai lambing merestui perkawinan kedua mempelai.
7.      Bilamana salah satu atau kedua belah pihak tidak memenuhi syarat-syarat dalam hukum perkawinan, maka upacara peneguhan perkawinan bisa dibatalkan.
8.      Perkawinan tidak bermaksud menceraikan seseorang dari bunda maupun keluarganya karena telah membangun mahligai baru, melaikan menyatukan keluarga yang satu dengan yang lain, memupuk rasa persaudaraan yang luas di antara manusia adalah bersaudara. Karena tujuan perkawinan membentuk keluarga harmonis, damai, maju, dan bahagia lahir dan batin, maka hukum perkawinan ini pada dasarnya tidak mengenal perceraian.

C.    Perkawinan/Pernikahan dalam agama Hindu dan Budha
1.      Pernikahan dalam Agama Hindu
Perkawinan merupakan suatu jalan untuk melepaskan derita orang tuanya, bahkan arwah para leluhurnya[3]. Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
2.      Makna & Arti Perkawinan Menurut Agama  Hindu
Adapun jenis dari pernikahan atau pewiwahan yaitu : Dalam Kitab Suci Hindu Manawa Dharmasastra ada delapan cara perkawinan, yaitu:

a)      Brahma Wiwaha: perkawinan terhormat di mana keluarga wanita mengawinkan anaknya kepada pria yang berbudi luhur dan berpendidikan yang dipilih oleh orang tua gadis. (Manawa Dharmasastra Bab III.27)
b)     Dewa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang telah berjasa (non material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.28)
c)      Arsa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang memberikan sesuatu (material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.29)
d)     Prajapatya Wiwaha: perkawinan yang direstui kedua pihak baik dari keluarga laki maupun keluarga wanita. (Manawa Dharmasastra Bab III.30)
e)      Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
f)       Gandharwa wiwaha: perkawinan atas dasar saling mencinta di mana salah satu atau kedua pihak orang tua tidak turut campur, walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharmasastra Bab III.32)
g)      Raksasa Wiwaha adalah bentuk perkawinan dimana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
h)     Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-laki dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang[4].

1.      Pernikahan dalam Agama Buddha
            Buddha tidak pernah mengajarkan keharusan atau larangan khususnya dalam perkawinan dan berdasarkan ajaran kebebasan itulah maka penganut Buddha diperbolehkan atau tidak dilarang seorang pria Buddha mengikat perkawinan dengan wanita non Buddhis, demikian juga dengan wanita Buddhis diperbolehkan atau tidak dilarang mengikat perkawinan dengan pria non Buddha. Bukan hanya kebebasan berpikir, tetapi juga toleransi yang diajarkan Buddha kepada murid-muridnya maka penganut Buddha bebas memilih pasangan hidupnya dalam suatu ikatan perkawinan tanpa memandang agamanya.
Meskipun bebas berpikir tetapi Buddha mengajarkan hubungan antara suami-istri merupakan hubungan yang suci dan keramat atau penghidupan keluarga yang keramat atau Sadara-Brahma-cariya, tekanan diberikan kepada istilah “Brahma” merupakan penghormatan tertinggi diberikan kepada hubungan suami-istri, karena suami istri harus setia, saling mencintai, saling berbakti dan mempunyai kewajiban tertentu terhadap satu dengan yang lain.
Suami harus selalu menghormati istrinya dan menjaga jangan sampai kekurangan apa-apa. Ia harus mencintainya dan setia kepadanya, harus memberikan kedudukan dan kesenangan kepada istrinya dan harus memberikan pakaian dan perhiasan.
Sebaliknya istri juga harus mengawasi dan mengurus rumah tangga, harus menjamu sahabat-sahabat, tamu-tamu, keluarga dan pegawai suami, harus mencintai dan setia kepada suaminya, harus melindungi pencaharian suami, serta harus pintar dan rajin dalam semua pekerjaannya.
2.      Upacara Perkawinan Buddha di Indonesia
Dalam mengajarkan Dhamma, Sang Buddha tidak pernah memberikan peraturan baku tentang upacara pernikahan. Hal ini disebabkan karena tata cara perkawinan adalah merupakan bagian dari kebudayaan suatu daerah, yang pasti akan berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain. Biasanya di beberapa negara Buddhis, pasangan yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan di rumah mereka ataupun di vihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki, pemberkahan itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya berlangsung di Kantor Catatan Pernikahan atau di rumah pihak yang bersangkutan. Diharapkan agar pasangan-pasangan yang beragama Buddha lebih rajin menunaikan kewajiban-kewajiban agama apabila mereka menikah.
Kebaktian untuk pemberkahan perkawinan diawali dengan persembahan sederhana berupa bunga, dupa, dan lilin. Pemberkahan ini diikuti pula oleh orang tua kedua pihak dan sanak keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Hal ini akan menjadi suatu sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan pasangan yang baru menikah. Sedangkan tata cara perkawinan Buddhis menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai. Pada saat itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan kain kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah dipersatukan.
 Oleh karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun hendaknya batin bersatu dan bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan pemercikan air paritta melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan kekotoran badan maupun barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha Dhamma yang dimiliki, hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga merupakan teman hidupnya.[5]
D.    Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Kristen Protestan dan Katolik
1.      Pernikahan dalam Agama Kristen Protestan
Agama Protestan mendifinisikan “Perkawinan adalah lembaga yang diciptakan dan merupakan inisiatif Allah sendiri. Allah berinisiatif menjodohkan Adam dan Hawa, dan mengikatkan keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan yang kudus”. “Perkawinan atau pernikahan adalah antara satu laki-laki dengan satu perempuan”. Perkawinan itu adalah suatu kemitraan yang permanen yang dibuat dengan komitmen diantara seorang wanita dan pria.
Dalam agama Islam maupun Protestan, perkawinan mempunyai tujuan yang sama yaitu merupakan salah satu ibadah dalam agama masing-masing, untuk memenuhi kebutuhan syahwat, sehingga dapat berkembangbiak melalui keturunan. Dengan adanya keturunan dapat memupuk jiwa kebapakan dan keibuan, maka manusia dapat terus terjaga keberadaannya[6]
2.      Pernikahan dalam Agama Katolik
Perkawinan dalam hukum Gereja Katolik dirumuskan sebagai sebuah perjanjian antara seorang pria dan wanita untuk membentuk kehidupan bersama, yang terarah kepada kesejahteraan keluarganya serta mengutamakan kelahiran dan pendidikan anak. Status perkawinan itu sendiri sangat dimuliakan, sebagaimana disebutkan bahwa: oleh Kristus Tuhan, perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen (Kan 1055:1).
Lebih lanjut dalam surat Paulus kepada para jemaatnya di Efesus, Paulus mengumpamakan bahwa perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita itu sebagai hubungan antara Kristus dengan jema'atnya. Gereja Katolik Roma menafsirkan ayat-ayat (surat Paulus) tersebut sedemikian rupa, sehingga rangkaian tata cara nikah yang sah dan dikukuhkan oleh gereja bukanlah perbuatan biasa melainkan sebuah perbuatan sakral yang diangkat menjadi suatu lambang perhubungan antara Kristus dengan gereja atau Kristus dengan jemaat. “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Efesus 5:32).
Perkawinan Katolik dicirikan dengan kesatuan yang tak-terpisahkan sesungguhnya memiliki dasar yang kuat dalam ikatan kesatuan tak-terpisahkan dengan relasi Bapa, Putra dan Roh Kudus. Ketiga-Nya merupakan tiga pribadi yang jelas terpisah secara personal namun memiliki kodrat yang. Ketiganya adalah Allah. Inti keyakinan Kristiani ini jelas mau menegaskan peran dan fungsi ketiga-Nya baik dalam kedudukan, kemahakuasaan, kemuliaan, kekudusan, keagungan, kejayaan, keilahian, keabadian, namun juga dalam kaitannya dengan relevansi cinta kasih antar-manusia yang harus selalu mencerminkan relasi cinta kasih Allah Tritunggal[7].
Dengan demikian, maka nikah yang diteguhkan oleh gereja "termasuk perbuatan-perbuatan gerejani, dengan perbuatan-perbuatan itu kita memperoleh anugerah Kristus yang menyelamatkan". Ikatan cinta kasih suami isteri seperti itu akan diangkat ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke dalam cinta kasih Ilahi. Artinya Kristus sendiri membuat perkawinan itu menjadi sarana bagi penyaluran cinta kasih Ilahi.















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agamanorma hukum, dan norma sosial. Dalam islam pernikahan ialah, Pernikahan atau Munahakat artinya dalam bahasa adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti akad nikah (Ijab Qobul) yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya yang diucapkan oleh kata-kata , sesusai peraturan yang  diwajibkan oleh Islam.
Dalam Agama Konghucu pernikahan juga dikatakan sebagai tugas suci manusia, Agama Hindu; Perkawinan merupakan suatu jalan untuk melepaskan derita orang tuanya, bahkan arwah para leluhurnya, Agama Buddha; Pernikahan merupakan hubungan yang suci dan keramat atau penghidupan keluarga yang keramat, Agama Kristen Protestan; Pernikahan merupakan suatu kemitraan yang permanen yang dibuat dengan komitmen diantara seorang wanita dan pria, Agama Kristen Katolik; Pernikahan merupakan sebuah perjanjian antara seorang pria dan wanita untuk membentuk kehidupan bersama.









DAFTAR PUSTAKA
Gde Sura.1987. Pelajaran Agama Hindu. Jakarta: Yayasan Wisma Karma
Gobai, Daniel Wejasokani., Korain, Yulianus. (2020), Hukum Perkawinan katolik dan sifatnya. Sebuah manifestasi relasi cinta kristus kepada gereja yang satu dan tak terpisahkan, Jurnal Hukum Magnum Opus, 3 (1), 81-92
I Nyoman Arthayasa.1999. Petunjuk Teknis Hindu. Surabaya : Paramita
Ilmy, Bachrul.2007. Pendidikan Agama Islam. Bandung: Grafindo Media Pratama
Moearifah, Noeroel., Al-Amin, Mukayat. (2015), Perkawinan menurut islam dan protestan, Jurnal Studi Agama-Agama 1 (2), 1-13
Muhlis Achmad, Mukhlis. 2019. Hukum Kawin Paksa di Bawah Umur (Tinjauan Hukum Positif dan Islam). Surabaya: Jakad Publishing







[1] Muhlis Achmad, Mukhlis, Hukum Kawin Paksa di Bawah Umur (Tinjauan Hukum Positif dan Islam), (Surabaya: Jakad Publishing, 2019), hlm.55.
[2] Ilmy, Bachrul, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007),hlm.56.
[3] Gde Sura. Pelajaran Agama Hindu, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987),hlm30
[4] I Nyoman Arthayasa, Petunjuk Teknis Hindu, (Surabaya : Paramita, 1999),hal.1
[6] Moearifah, Noeroel., Al-Amin, Mukayat. (2015), Perkawinan menurut islam dan protestan, Jurnal Studi Agama-Agama 1 (2), 1-13
[7] Gobai, Daniel Wejasokani., Korain, Yulianus. (2020), Hukum Perkawinan katolik dan sifatnya. Sebuah manifestasi relasi cinta kristus kepada gereja yang satu dan tak terpisahkan, Jurnal Hukum Magnum Opus, 3 (1), 81-92