PERKAWINAN/PERNIKAHAN DALAM AGAMA-AGAMA DI INDONESIA
Selasa, 24 Maret 2020
MAKALAH
BK PERKAWINAN
MAKNA PERNIKAHAN/PERKAWINAN DALAM AGAMA-AGAMA DI INDONESIA
Dosen
Pengampu : Barriyati, S.Pd., M.Pd
Nora Maulini (11732027)
Ririn Marlina (11732014)
Seri Rizky (11732005)
Yudhi Priambudhi (11732041)
BIMBINGAN
KONSELING ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI( IAIN ) PONTIANAK 2020/2021
KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, dengan segala nikmat
yang tak henti-hentinya yakni nikmat sehat sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang membahas materi tentang Perkawinan/Pernikahan dalam Agama-agama di
Indonesia. Makalah ini telah kami susun dengan kerja sama antar tim demi memenuhi
mata kuliah BK Perkawinan.
Terlepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat, tata bahasanya maupun kelengkapan materinya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka dan hati yang lapang kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca baik itu dosen pengampu mata kuliah maupun audience, agar
kami dapat memperbaiki makalah ini sehingga menjadi makalah yang layak untuk
dibaca dan dijadikan sebagai referensi.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Perkawinan/Pernikahan dalam Agama-agama di Indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
Rabu,
18 Maret 2020
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
……………………………………………………………. 2
DAFTAR ISI ………………………………………………………...……………. 3
BAB I PENDAHULUAN
………………………………………………………… 4
A. Latar Belakang
……………………………………………………………. 4
B. RumusanMasalah …………………………………………………………. 4
C. TujuanPenulisan
………………………………………………………….. 4
BAB II PEMBAHASAN
……………………………………………….…………. 5
A. Definisi Perkawinan/Pernikahan………………………………………….. 5
B. Perkawinan/Pernikahan
dalam Agama Islam dan Konghucu……….…… 5
C. Perkawinan/Pernikahan
dalam Agama Hindu dan Buddha..………………. 7
D. Perkawinan/Pernikahan
dalam Agama Kristen Protestan dan Katoli…… 10
BAB III PENUTUP
……………………………………………………………….. 14
A. Kesimpulan
……………………………………………………………….. 14
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………….. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pernikahan adalah kebutuhan
individual maupun sosial. Kebanyakan manusia, pada waktunya akan menjadi
suami/istri dan membentuk keluarga, yang merupakan batu pertama dalam bangunan
sebuah masyarakat. Dalam islam sendiri, pernikahan dijelaskan secara detail
mulai dari awal meminang sampai membangun bahtera rumah tangga. Zahirnya,
pernikahan memang hanya merupakan langkah untuk menghalalkan persetubuhan.
Tapi, pada hakekatnya, ia merupakan pondasi bagi pelbagai hak maupun kewajiban
yang harus ditunaikan dan diperhatikan secara sungguh-sungguh, agar bahtera
rumah tangga dapat berlabuh di dermaga kesejahteraan dan ketentraman.
Sebagai negara yang memiliki
toleransi yang tinggi, yakni Indonesia, Pernikahan tidak hanya dibahas secara
detail dalam Agama Islam, tetapi dalam
agama lain seperti: Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen Protestan, dan Kristen
Katolik juga membahas perkawinan mulai dari makna pernikahan, hukum pernikahan,
hingga syarat-syaratnya. Sehingga makna pernikahan itu sendiri beraneka ragam
dan dapat menunjukkan bahwa pernikahan merupakan salah satu criteria kebahagian
yang terpenting bagi siapapu.
B.
Rumusan
masalah
1. Apa
itu Perkawinan/Pernikahan?
2. Seperti
apa Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Islam dan Konghucu?
3. Seperti
apa Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Hindu dan Buddha?
4. Seperti
apa Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Kristen Protestan dan Katolik?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui penjelasan tentang Perkawinan/Pernikahan.
2. Untuk
mengetahui Seperti apa Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Islam, Konghucu,
Hindu, Buddha, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perkawinan/Pernikahan
Nikah menurut arti bahasa adalah
berkumpul dan saling memuaskan, kadang-kadang diartikan dengan bersetubuh atau
perjanjian perikatan[1]. Secara terminologi perkawinan menurut istilah
seperti yang dikemukakan oleh Mamud Yunus perkawinan merupakan akad antara
calon laki-laki dengan calon perempuan untuk memenuhi hajat jenisnya sesuai
yang diatur oleh syari’ah.
Sedangkan menurut Azhar Basyir
perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
bekeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang
diridhai Allah SWT.
menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Maha Esa. Sedangkan perkawinan menurut
syara’ adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki bebas bergaul dengan
perempuan tertentu pada waktu akad menggunakan lafadz Allah tazwij atau terjemahanya.
Berdasarkan penuturan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh
dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma
agama, norma hukum, dan norma
sosial.
B. Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Islam dan Konghucu
1. Pernikahan dalam Islam
Pernikahan atau Munahakat artinya dalam
bahasa adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti
akad nikah (Ijab Qobul) yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara
keduanya yang diucapkan oleh kata-kata , sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan
dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang
dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan manusia itu saling
berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
2. Hukum pernikahan dalam Islam
Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah
adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak. Hukum menikah akan
berubah menjadi sunnah apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut
mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan
mampu menahan perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah. Sebagaimana
sabda Rasullullah SAW :
“Wahai para pemuda, jika diantara
kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah dia menikah,
karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara
kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia
berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari
Muslim).
Hukum menikah
akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin melakukan pernikahan
tersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani,
mental maupun meteriil dan ia khawatir apabila ia tidak segera menikah ia
khawatir akan berbuat zina. Maka wajib baginya untuk segera menikah.
Hukum menikah
akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin melakukan pernikahan
tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun
meteriil dalam menafkahi keluarganya kelak. Perkawinan akan menjadi haram
hukumnya apabila dilakukan oleh seseorang yang bertujuan tidak baik dalam
perkawinannya, misalnya menyakiti hati seseorang.
3. Syarat Pernikahan dalam Islam
1.
Calon sudah baligh dan berakal
2.
Wanita yang halal untuk dinikahi
3. Sigat (lafal) ijab
qabul
4.
Wali nikah
5.
Saksi
6.
Mahar (mas kawin)[2]
1. Pernikahan dalam Agama Konghucu
Pernikahan menurut agama Konghucu
adalah “salah satu tugas suci manusia yang memungkinkan manusia melangsungkan
sejarahnya dan mengembangkan benih-benih firman Thian, Tuhan Yang
Maha Esa, yang berwujud kebajikan, yang bersemayam di dalam dirinya serta, selanjutnya
memungkinkan manusia membimbing putra dan putrinya.
2. Hukum Perkawinan dalam Agama
Konghucu
Dengan ditetapkannya Undang-undang
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka telah dikeluarkan
hukum perkawinan agama Konghucu di Indonesia pada Tahun 1975. Menurut agama
Konghucu, bila seseorang hendak melakukan perkawinan, maka ia diharukan
terlebih dahulu diharuskan untuk mengetahui hukum perkawinannya.
Ada beberapa hal yang perlu
diketahui oleh kedua calom mempelai. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan
tujuan membentuk keluarga bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Dasar
perkawianan umat Konghuchu adalah monogamy demi tercapainya tujuan perkawinan
yang suci murni.
3. Perkawinan
harus berdasarkan kemauan/persetujuan kedua calon mempelai, tanpa adanya
pakasaan dari pihak manapun.
4. Kedua
calon mempelai masing-masing belum/tidak terikat dengan pihak lain yang
dianggap sebagai hidup berumah tangga.
5. Pengakuan
iman wajib bagi calon mempelai sehingga benar-benar dewasa bukan saja dari segi
usia tetapi juga dalam berfikir, bertindak, bertingkah laku, dan lain
sebagainya.
6. Pada
waktu acara peneguhan perkawinan harus dihadiri oleh kedua belah pihak orang
tua / wali mempelai demi kerukunan, kedamaian, kemajuan dan kebahagiaan kedua
empelai sepanjang hidupnya, maka yang menyulut lilin pada altar persembahyangan
adalah kedua belah pihak orang tua/ wali mempelai sebagai lambing merestui
perkawinan kedua mempelai.
7. Bilamana
salah satu atau kedua belah pihak tidak memenuhi syarat-syarat dalam hukum
perkawinan, maka upacara peneguhan perkawinan bisa dibatalkan.
8. Perkawinan
tidak bermaksud menceraikan seseorang dari bunda maupun keluarganya karena
telah membangun mahligai baru, melaikan menyatukan keluarga yang satu dengan
yang lain, memupuk rasa persaudaraan yang luas di antara manusia adalah
bersaudara. Karena tujuan perkawinan membentuk keluarga harmonis, damai, maju,
dan bahagia lahir dan batin, maka hukum perkawinan ini pada dasarnya tidak
mengenal perceraian.
C. Perkawinan/Pernikahan dalam agama Hindu dan Budha
1. Pernikahan dalam Agama Hindu
Perkawinan merupakan suatu jalan
untuk melepaskan derita orang tuanya, bahkan arwah para leluhurnya[3]. Dalam agama Hindu di Bali
istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan
itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal
dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal
dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara
semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman
yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
menurut Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian
perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha
Esa.
2.
Makna & Arti Perkawinan Menurut
Agama Hindu
Adapun jenis dari pernikahan atau pewiwahan yaitu : Dalam Kitab Suci
Hindu Manawa Dharmasastra ada delapan cara perkawinan, yaitu:
a)
Brahma Wiwaha: perkawinan terhormat di mana keluarga wanita mengawinkan anaknya
kepada pria yang berbudi luhur dan berpendidikan yang dipilih oleh orang tua
gadis. (Manawa Dharmasastra Bab III.27)
b)
Dewa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang telah berjasa
(non material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.28)
c)
Arsa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang memberikan
sesuatu (material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.29)
d)
Prajapatya Wiwaha: perkawinan yang direstui kedua pihak baik dari keluarga laki
maupun keluarga wanita. (Manawa Dharmasastra Bab III.30)
e)
Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita
setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak
wanita.
f)
Gandharwa
wiwaha: perkawinan atas dasar saling mencinta di mana salah satu atau kedua
pihak orang tua tidak turut campur, walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharmasastra
Bab III.32)
g)
Raksasa Wiwaha adalah bentuk perkawinan dimana si pria mengambil paksa wanita
dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
h)
Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-laki dengan diam-diam
memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk.
Bentuk perkawinan ini dilarang[4].
1.
Pernikahan
dalam Agama Buddha
Buddha
tidak pernah mengajarkan keharusan atau larangan khususnya dalam perkawinan dan
berdasarkan ajaran kebebasan itulah maka penganut Buddha diperbolehkan atau
tidak dilarang seorang pria Buddha mengikat perkawinan dengan wanita non
Buddhis, demikian juga dengan wanita Buddhis diperbolehkan atau tidak dilarang
mengikat perkawinan dengan pria non Buddha. Bukan hanya kebebasan berpikir,
tetapi juga toleransi yang diajarkan Buddha kepada murid-muridnya maka penganut
Buddha bebas memilih pasangan hidupnya dalam suatu ikatan perkawinan tanpa
memandang agamanya.
Meskipun bebas berpikir tetapi
Buddha mengajarkan hubungan antara suami-istri merupakan hubungan yang suci dan
keramat atau penghidupan keluarga yang keramat atau Sadara-Brahma-cariya,
tekanan diberikan kepada istilah “Brahma” merupakan penghormatan tertinggi
diberikan kepada hubungan suami-istri, karena suami istri harus setia, saling
mencintai, saling berbakti dan mempunyai kewajiban tertentu terhadap satu
dengan yang lain.
Suami harus selalu menghormati
istrinya dan menjaga jangan sampai kekurangan apa-apa. Ia harus mencintainya
dan setia kepadanya, harus memberikan kedudukan dan kesenangan kepada istrinya
dan harus memberikan pakaian dan perhiasan.
Sebaliknya istri juga harus mengawasi dan mengurus rumah tangga, harus menjamu sahabat-sahabat, tamu-tamu, keluarga dan pegawai suami, harus mencintai dan setia kepada suaminya, harus melindungi pencaharian suami, serta harus pintar dan rajin dalam semua pekerjaannya.
Sebaliknya istri juga harus mengawasi dan mengurus rumah tangga, harus menjamu sahabat-sahabat, tamu-tamu, keluarga dan pegawai suami, harus mencintai dan setia kepada suaminya, harus melindungi pencaharian suami, serta harus pintar dan rajin dalam semua pekerjaannya.
2.
Upacara Perkawinan Buddha di Indonesia
Dalam
mengajarkan Dhamma, Sang Buddha tidak pernah memberikan peraturan baku tentang
upacara pernikahan. Hal ini disebabkan karena tata cara perkawinan adalah
merupakan bagian dari kebudayaan suatu daerah, yang pasti akan berbeda antara
satu tempat dan tempat yang lain. Biasanya di beberapa negara Buddhis, pasangan
yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan di rumah
mereka ataupun di vihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki, pemberkahan
itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya berlangsung di Kantor
Catatan Pernikahan atau di rumah pihak yang bersangkutan. Diharapkan agar
pasangan-pasangan yang beragama Buddha lebih rajin menunaikan
kewajiban-kewajiban agama apabila mereka menikah.
Kebaktian
untuk pemberkahan perkawinan diawali dengan persembahan sederhana berupa bunga,
dupa, dan lilin. Pemberkahan ini diikuti pula oleh orang tua kedua pihak dan
sanak keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Hal ini akan menjadi suatu
sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan
pasangan yang baru menikah. Sedangkan
tata cara perkawinan Buddhis menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling
penting adalah adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai.
Pada saat itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan
kain kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah
dipersatukan.
Oleh
karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun hendaknya batin bersatu dan
bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan pemercikan air
paritta melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan kekotoran badan
maupun barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha Dhamma yang
dimiliki, hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari
pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga
merupakan teman hidupnya.[5]
D. Perkawinan/Pernikahan dalam Agama Kristen Protestan dan Katolik
1.
Pernikahan
dalam Agama Kristen Protestan
Agama Protestan mendifinisikan
“Perkawinan adalah lembaga yang diciptakan dan merupakan inisiatif Allah
sendiri. Allah berinisiatif menjodohkan Adam dan Hawa, dan mengikatkan keduanya
dalam sebuah ikatan pernikahan yang kudus”. “Perkawinan atau pernikahan adalah
antara satu laki-laki dengan satu perempuan”. Perkawinan itu adalah suatu
kemitraan yang permanen yang dibuat dengan komitmen diantara seorang wanita dan
pria.
Dalam agama Islam maupun Protestan,
perkawinan mempunyai tujuan yang sama yaitu merupakan salah satu ibadah dalam
agama masing-masing, untuk memenuhi kebutuhan syahwat, sehingga dapat
berkembangbiak melalui keturunan. Dengan adanya keturunan dapat memupuk jiwa
kebapakan dan keibuan, maka manusia dapat terus terjaga keberadaannya[6]
2.
Pernikahan
dalam Agama Katolik
Perkawinan
dalam hukum Gereja Katolik dirumuskan sebagai sebuah perjanjian antara seorang
pria dan wanita untuk membentuk kehidupan bersama, yang terarah kepada
kesejahteraan keluarganya serta mengutamakan kelahiran dan pendidikan anak.
Status perkawinan itu sendiri sangat dimuliakan, sebagaimana disebutkan bahwa:
oleh Kristus Tuhan, perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke
martabat sakramen (Kan 1055:1).
Lebih
lanjut dalam surat Paulus kepada para jemaatnya di Efesus, Paulus mengumpamakan
bahwa perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita itu sebagai hubungan
antara Kristus dengan jema'atnya. Gereja Katolik Roma menafsirkan ayat-ayat
(surat Paulus) tersebut sedemikian rupa, sehingga rangkaian tata cara nikah
yang sah dan dikukuhkan oleh gereja bukanlah perbuatan biasa melainkan sebuah
perbuatan sakral yang diangkat menjadi suatu lambang perhubungan antara Kristus
dengan gereja atau Kristus dengan jemaat. “Rahasia ini besar, tetapi yang aku
maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Efesus 5:32).
Perkawinan Katolik dicirikan dengan
kesatuan yang tak-terpisahkan sesungguhnya memiliki dasar yang kuat dalam
ikatan kesatuan tak-terpisahkan dengan relasi Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Ketiga-Nya merupakan tiga pribadi yang jelas terpisah secara personal namun
memiliki kodrat yang. Ketiganya adalah Allah. Inti keyakinan Kristiani ini
jelas mau menegaskan peran dan fungsi ketiga-Nya baik dalam kedudukan,
kemahakuasaan, kemuliaan, kekudusan, keagungan, kejayaan, keilahian, keabadian,
namun juga dalam kaitannya dengan relevansi cinta kasih antar-manusia yang
harus selalu mencerminkan relasi cinta kasih Allah Tritunggal[7].
Dengan
demikian, maka nikah yang diteguhkan oleh gereja "termasuk
perbuatan-perbuatan gerejani, dengan perbuatan-perbuatan itu kita memperoleh
anugerah Kristus yang menyelamatkan". Ikatan cinta kasih suami isteri
seperti itu akan diangkat ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke dalam cinta
kasih Ilahi. Artinya Kristus sendiri membuat perkawinan itu menjadi sarana bagi
penyaluran cinta kasih Ilahi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh
dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma
agama, norma hukum, dan norma
sosial. Dalam
islam pernikahan ialah, Pernikahan atau Munahakat artinya dalam bahasa
adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti akad
nikah (Ijab Qobul) yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan
yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya yang
diucapkan oleh kata-kata , sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam.
Dalam
Agama Konghucu pernikahan juga dikatakan sebagai tugas suci manusia, Agama
Hindu; Perkawinan merupakan suatu jalan untuk melepaskan derita orang tuanya,
bahkan arwah para leluhurnya, Agama Buddha; Pernikahan merupakan hubungan yang
suci dan keramat atau penghidupan keluarga yang keramat, Agama Kristen
Protestan; Pernikahan merupakan suatu kemitraan yang
permanen yang dibuat dengan komitmen diantara seorang wanita dan pria, Agama
Kristen Katolik; Pernikahan merupakan sebuah
perjanjian antara seorang pria dan wanita untuk membentuk kehidupan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Gde
Sura.1987. Pelajaran Agama Hindu. Jakarta:
Yayasan Wisma Karma
Gobai, Daniel Wejasokani., Korain,
Yulianus. (2020), Hukum Perkawinan katolik dan sifatnya. Sebuah manifestasi
relasi cinta kristus kepada gereja yang satu dan tak terpisahkan, Jurnal Hukum Magnum Opus, 3 (1), 81-92
I
Nyoman Arthayasa.1999. Petunjuk Teknis
Hindu. Surabaya : Paramita
Ilmy,
Bachrul.2007. Pendidikan Agama Islam. Bandung:
Grafindo Media Pratama
Moearifah, Noeroel., Al-Amin,
Mukayat. (2015), Perkawinan menurut islam dan protestan, Jurnal Studi Agama-Agama 1 (2), 1-13
Muhlis Achmad, Mukhlis. 2019. Hukum Kawin Paksa di Bawah Umur (Tinjauan
Hukum Positif dan Islam). Surabaya: Jakad Publishing
[1] Muhlis Achmad, Mukhlis, Hukum
Kawin Paksa di Bawah Umur (Tinjauan Hukum Positif dan Islam), (Surabaya:
Jakad Publishing, 2019), hlm.55.
[2] Ilmy, Bachrul, Pendidikan
Agama Islam, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007),hlm.56.
[3] Gde Sura. Pelajaran Agama
Hindu, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987),hlm30
[4] I Nyoman Arthayasa, Petunjuk
Teknis Hindu, (Surabaya : Paramita, 1999),hal.1
[6] Moearifah, Noeroel., Al-Amin, Mukayat. (2015), Perkawinan menurut
islam dan protestan, Jurnal Studi
Agama-Agama 1 (2), 1-13
[7] Gobai, Daniel Wejasokani., Korain, Yulianus. (2020), Hukum
Perkawinan katolik dan sifatnya. Sebuah manifestasi relasi cinta kristus kepada
gereja yang satu dan tak terpisahkan, Jurnal
Hukum Magnum Opus, 3 (1), 81-92
Langganan:
Postingan (Atom)